Kumpul-Kumpul Ride V “A wet Sunday is still a good day to ride.”

Kumpul-Kumpul Ride V “A wet Sunday is still a good day to ride.”

ENGLISH TEXT BELOW

Pagi itu, akhir Juni 2025, Bali bernafas dalam rintik. Musim hujan yang seharusnya sudah mengemas bawaannya, ternyata memutuskan untuk menyisakan satu pagi Minggu yang basah. Namun, di pelataran Deus Temple Canggu, air hujan yang jatuh ke aspal hangat bukanlah penundaan, melainkan prolog. Sejak pukul delapan, detak jantung mesin mulai berdetak lebih kencang. Satu per satu, mereka datang, membawa kesayangan kuda besi mereka. Vespa klasik 2tak yang berdecit nakal, cubs yang setia, chopper custom yang gagah memantulkan cahaya redup, vintage trail yang penuh cerita petualangan, hingga adventure bike modern yang siap menerjang – memenuhi area parkir. Sebuah galeri bergerak dari kenangan dan mimpi.

Tahun ini, denyutnya berbeda, lebih kuat. Keluarga internal Deus membengkak, 20 jiwa penuh semangat menyatu dengan kurang lebih 50 tamu undangan dari komunitas-komunitas motor Bali. Elemen inklusif Deus bukan lagi slogan, tapi napas yang terlihat. Di teras, asap rokok dan uap kopi menari bersama gelak tawa. Wajah-wajah baru disambut oleh senyum akrab teman lama. Percakapan riuh tentang modifikasi, rute, dan cerita lama mengalahkan gemericik hujan. Tim Deus Cafe, pahlawan pagi itu, menyodorkan cangkir-cangkir kopi yang menggugah dan sarapan lokal hangat. Aroma nasi goreng dan sate lilit memerangi dinginnya udara pagi yang mendung, mengisi perut dan membakar semangat.

Pukul sepuluh tepat. Hujan mulai mereda, meninggalkan udara lembap yang segar. Geri & Dede memecah keriuhan dengan briefing singkat tapi penuh semangat. Peta imajiner tergambar di udara: meninggalkan keramaian Canggu, menyeberangi Jalan Raya, menyusup ke jalan-jalan desa yang masih mengantuk. "Kumpul-Kumpul Ride Kelima!" seru mereka, disambut gemuruh mesin yang dinyalakan serentak. Suara berpuluh-puluh motor menyatu menjadi simfoni pembuka perjalanan.

Konvoi pun bergerak. Canggu tertinggal di belakang, digantikan oleh lukisan hidup Bali yang sejati. Jalan aspal berkelok, terkadang mulus, seringkali dihiasi "permata" lubang khas Bali, membelah hamparan sawah hijau zamrud yang siap tuai. Desa kecil melintas, rumah-rumah tradisional menyaksikan parade besi ini lewat. Sebagai penghormatan, suara knalpot diturunkan saat melewati warga yang sedang beraktivitas. Senyum hangat dan lambaian tangan menjadi balasan yang manis. Meski begitu, di ruas sepi, tanah basah di tepi jalan terkadang menggoda. Satu, dua motor, tak tahan, mengangkat depannya dalam wheelie spontan, atau menggores tanah dengan tailspin singkat, disambut sorak dan tepuk tangan kawan-kawan. Jiwa petualangan tak bisa sepenuhnya diredam.

Perjalanan enam puluh kilometer lebih terasa seperti meditasi bergerak. Udara pegunungan mulai menusuk, segar dan dingin. Di kiri, kadang di depan, Gunung Batukaru menjulang megah, puncaknya terselubung kabut, menjadi kompas alami. Akhirnya, tujuan akhir menyapa: Compang - Camping Camp. Motor-motor diparkir melingkar seperti kuda-kuda yang beristirahat. Helm dan jaket berkeringat dilepas. Dan di sana, terbentang seperti hadiah terindah: Danau Buyan yang memantulkan langit biru yang tiba-tiba menang dari awan. Matahari bersinar cerah, tapi udara tetap segar menusuk tulang. Pemandangan dari ketinggian itu memukau, menghapus lelah perjalanan.

Tapi damai itu hanya jeda. Setelah perut diisi dengan nikmatnya nasi campur tradisional di tengah gemericik sungai kecil di dataran tinggi Bedugul, semangat kembali dipacu. Bir dingin dibagikan, dan arena permainan pun dibuka. Slow Race yang menuntut keseimbangan sempurna mengundang tawa sekaligus ketegangan. Lalu, Balap Gendong yang konyol sekaligus mempersatukan – siapa sangka melihat Harley berat digendong oleh tim yang teriak-teriak kompak? Batas komunitas mencair: Arank Vespa Club, Treasure Garage, British Style Motorcycle Bali, Batas Kota Motorcycle, Afternoon Cruisin, Purple House – semua bercampur, saling menyemangati, tertawa bersama. Deus Temple, Arank Vespa Club, Treasure Garage, British Style Motorcycle Bali, Batas Kota Motorcycle, Afternoon Cruisin, Purple House – semua bercampur, saling menyemangati, tertawa bersama. Dalam riuh rendah itu, kita bukan lagi kumpulan klub, tapi satu rombongan besar, keluarga Kumpul-Kumpul.

Tak ada permainan tanpa hadiah. Para pemenang, dengan muka puas dan sedikit lelah, membawa pulang Deus Tees, Moto Jerseys, dan Kumpul-Kumpul Bandana edisi spesial – bukan sekadar merchandise, tapi lambang kenangan hari ini.

Saat matahari mulai condong ke barat, mengucapkan selamat tinggal pada Danau Buyan, rasa syukur yang hangat mengisi udara, lebih hangat dari sinar matahari sore. Terima kasih. Dua kata itu bergaung untuk setiap peserta yang menjadikan Kumpul-Kumpul Ride kelima ini istimewa. Untuk kalian yang berbagi jalan, tawa, dan semangat hari ini. Dan untuk kalian yang belum bisa hadir, jangan khawatir. Cerita hari ini adalah undangan terbuka. Kita akan bertemu lagi, di jalanan berikutnya, di petualangan berikutnya, menjelajahi lebih banyak keindahan tersembunyi Bali dari atas pelana. Sampai jumpa di Kumpul-Kumpul Ride keenam! Suara mesin mungkin telah mereda, tapi getaran persaudaraan dan petualangan itu masih berdentum di dada.

That morning, the last Sunday of June 2025, Bali breathed under a mist of drizzle. The wet season, which should’ve long packed up and left, stuck around just long enough to soak a single Sunday. But at the courtyard of Deus Temple Canggu, rain wasn’t a delay—it was the opening act.

By 8 AM, engines were already humming louder than the rain. One by one, the riders rolled in, each astride their trusted steel steeds. Screaming two-stroke Vespas, loyal Cubs, stoic choppers reflecting soft grey light, well-loved vintage trails, and sleek modern adventure bikes itching to get dirty—turning the parking lot into a living gallery of memory and machine.

This year, the pulse felt different—louder, stronger. The Deus family showed up in full force: 20 spirited souls joining forces with around 50 invited riders from Bali’s vibrant moto community. Deus’ inclusive ethos wasn’t just a slogan—it was alive and well. On the terrace, cigarette smoke and coffee steam danced in the air, punctuated by laughter. Fresh faces met familiar smiles. Chatter about mods, rides, and legendary breakdowns rose above the gentle patter of rain.

Our Deus Café crew—unsung morning heroes—kept the energy high with hot cups of brew and local breakfast hits. The scent of fried rice and satay battled the morning chill, feeding bodies and stoking fire in the belly.

10 AM sharp. The rain eased, leaving behind a fresh, glistening silence. Then came the call. Geri & Dede took the floor (or rather, the wet concrete) for a quick, fired-up briefing. An invisible map was laid out — we’d head out of Canggu, across the main road, slipping into still-sleepy village tracks.

“This is Kumpul-Kumpul Ride Five!” they shouted. Engines roared in unison, a mechanical chorus ready to move. The convoy rolled out. Canggu faded behind, replaced by the real-deal Bali. Twisting tarmac, sometimes smooth, often blessed with Bali’s signature "pothole jewels," led the charge through emerald rice paddies and sleepy hamlets. As we passed villagers at work, throttle hands softened. Engines hushed in respect. Smiles and waves were exchanged. But the moment the coast was clear—well, you can’t bottle spirit—a wheelie here, a tailspin there. Adventure has a mind of its own.

The 60-kilometre ride felt more like a moving meditation. Mountain air crept in—cool, sharp. To the left, sometimes up ahead, Mount Batukaru stood proud, its peak veiled in cloud like some mythic compass. Finally, the destination emerged: Compang - Camping Camp. Bikes are parked in a circle like horses after a long ride. Helmets off. Jackets damp. And there it was: Lake Buyan, reflecting a suddenly victorious blue sky. The sun came out. The chill remained. The view—divine. Fatigue? Forgotten.

But serenity never lasts too long around here. After fueling up on steaming nasi campur beside a murmuring mountain stream in Bedugul, the games began. Cold beers cracked open. The field turned playful.

The Slow Race demanded Zen-like balance—part drama, part comedy. Then came the Balap Gendong (Piggyback Race)—utterly ridiculous, totally glorious. Watching a full-grown Harley get “carried” across a field by a shouting, laughing team? That’s community. Clubs blurred. Arank Vespa Club, Treasure Garage, British Style Motorcycle Bali, Batas Kota Motorcycle, Afternoon Cruisin, Purple House—no borders, no egos, just big-hearted chaos.

In that joyful mess, we weren’t separate crews—we were one gang. The Kumpul-Kumpul family.

And no game’s complete without spoils. Victors went home with Deus tees, moto jerseys, and the much-coveted Kumpul-Kumpul Ride V bandanas—badges of memory, not just merchandise.

As the sun dipped westward, Lake Buyan said its golden goodbye. Gratitude filled the air, warmer than the fading light. Terima kasih. Two simple words, echoing for everyone who made the fifth Kumpul-Kumpul Ride unforgettable. To those who rode, laughed, and lived it. And to those who couldn’t make it—don’t sweat it. Today’s story is your invitation. We’ll ride again. New roads. New stories. Hidden corners of Bali, still waiting.

See you on Kumpul-Kumpul Ride VI.